085653535++ ridwanname@gmail.com
Tampilkan postingan dengan label news. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label news. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Maret 2014

menyusuri hutan bakau,memetakan kawasan

Selama seharian kami melakukan pemetaan wilayah di hutan bakau Kubu yang akan dijadikan hutan konservasi. Ada puluhan orang yang ikut dalam pemetaan ini. Sebagian besar adalah warga Desa Kubu dan sisanya aktivisPerkumpulan Penggiat Konservasi dan Pengembangan Komunitas Mandiri (Pervasi). Kami menggunakan empat buah perahu motor kecil. Satu perahu bisa menampung lima hingga enam orang.

Perahu motor berjalan pelan menyusuri sungai-sungai, mengelilingi hutan yang hendak diselamatkan. Kadang kami masuk ke sungai besar dan terkadang masuk ke anak-anak sungai. Di beberapa tempat perahu tersangkut kayu-kayu bakau yang hanyut. Motoris harus pandai mengelakkan perahu.

Ini kegiatan yang menyenangkan, meski sebenarnya beresiko. Betapa tidak. Treking yang kami lakukan ini berada di kawasan konsesi hak pengusahaan hutan milik PT Kandelia Alam. Tanpa ijin, bisa saja kami dicegat oleh keamanan perusahaan atau pekerja di sana. Saat treking seorang petugas keamanan mengikuti perahu kami dari jauh. Untuk tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mungkin karena kami cukup ramai, sehingga mereka tidak berani mengganggu.

Di sejumlah tempat kami melihat banyak tumpukan kayu hasil tebangan yang diletakkan di pinggir-pinggir sungai. Kayu-kayu itu sudah siap angkut. Tak jauh dari sana, banyak lahan kosong. Tunggul-tunggul kayu terlihat di sana-sini. “Ini sih babat habis,” ujar Dedy Armayadi, aktivis Pervasi, mengomentari aktivitas penebangan yang dilakukan perusahaan.

Di sejumlah tempat kami juga melihat banyak camp pekerja. Terlihat beberapa pekerja sedang beraktivitas. Suara gergaji mesin terdengar dari jauh. Ini menandakan bahwa aktivitas penebangan masih terjadi.

Dedy Armayadi berkata, “Kalau kita lihat, penebangan ini tidak dilakukan dengan sistem tebang pilih, tapi babat habis. Lihat saja, semua pohon, besar atau kecil dibabat.” 

Penebangan juga dilakukan hingga ke pinggir-pinggir sungai. Menurut Dedy, dalam aturan hal ini dilarang. “Dalam peraturan perundang-undangan ada aturan bahwa penebangan pohon tidak boleh dilakukan hingga ke pinggir sungai,” jelasnya. 
Herman Suparman Simanjuntak dari Pervasi bertugas memegang GPS. Lelaki berbadan gempal ini mengambil titik koordinat dari berbagai lokasi. “Ini penting pembuatan peta lokasi hutan bakau yang hendak dijadikan kawasan konservasi,” ujarnya.

Kasus ini bermula dari masuknya PT Kandelia Alam di wilayah kecamatan Kubu yang mendapatkan ijin untuk melakukan penebangan hutan bakau di kawasan tersebut. Perusahaan ini mendapatkan konsesi di wilayah Kelompok Hutan Sungai Radak Guntung, di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat seluas 18 ribu hektar lebih. Ini kawasan Mangrove yang masih terjaga kelestariannya. 


Sedikitnya ada 8 desa yang sangat bergantung pada keberadaan hutan bakau di kawasan tersebut, yakni desa Kubu, Desa Dabong, Mengkalang, Sembuluk, Seruat II, dan Seruat III.
Warga merasa resah karena penebangan Pohon Bakau yang dilakukan PT Kandelia Alam sudah mendekati daerah pemukiman penduduk khususnya Desa Kubu dan Desa Sui Terus. Di Desa Sui Terus, misalnya, wilayah penebangan sudah mendekati jarak 500 meter dari kawasan penduduk.

Kelompok hutan sungai Radak Guntung posisinya sangat strategis guna menahan laju intrupsi air laut karena hutan tersebut mengitari daerah pemukiman warga. Jika hutan tersebut habis maka air yang merembes bukan cuma akan dirasakan masyarakat Desa Kubu dan Desa Sungai Terus tapi juga akan sampai ke Desa Teluk Nangka, Dabong, Desa Mengkalang, Olak-olak Kubu, Desa Seruat II dan Desa Seruat III, Desa Jangkang II.

Karena itu warga dibantu Pervasi berinisiatif memetakan kawasan ini. Nantinya wilayah yang sudah dipetakan akan diajukan pada Bupati Kubu Raya untuk mendapatkan rekomendasi, serta akan disampaikan pada dinas-dinas terkait seperti dinas kehutanan provinsi dan kabupaten Kubu Raya. 

Warga berharap, mereka masih bisa mengelola hutan bakau, meski sebagian wilayah hutan sudah rusak. Hutan bakau adalah wilayah yang sangat penting bagi warga kebanyakan adalah nelayan.

Warga memanfaatkan hutan bakau untuk mencari kepiting, udang, ikan dan berbagai tangkapan lain. Hutan bakau rusak tentu saja mempengaruhi pendapatan warga. “Kalau hutan bakau terus ditebang, kami akan cari makan dimana lagi?” ujar Sulaeman, ketua kelompok nelayan Kubu.

Kegiatan pemetaan selesai pada sore hari setelah sempat dihadang hujan yang deras. "Kami berharap usaha ini ada manfaatnya," ujar Dedy. (Heriyanto)
No comments

Selasa, 11 Maret 2014

Diekploitasi Karena Rupiah

Hujan baru saja reda. Namun rintik-rintik hujan belum sepenuhnya hilang. Malam itu, sekitar pukul 09.00 malam, seorang bocah duduk di perempatan lampu merah simpang Markas Polda Kalbar. Dia bersandar di sebuah papan pengumuman lalu lintas. Tangan bocah itu bersedekap menahan dingin. Bajunya basah.

Saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, bocah itu segera beranjak. Jalannya gontai. Mungkin karena menahan rasa kantuk. Dia menghampiri para pengguna jalan yang sedang berhenti menunggu lampu merah. Dia mengulurkan tangannya, berharap para pengguna jalan merasa iba dan memberinya selembar dua lembar uang rupiah.

Saat lampu merah berubah menjadi hijau, kendaraan-kendaraan pun berlalu. Si bocah kembali ke tempatnya semula, duduk bersandar di papan pengumuman lalu lintas. Kali ini bocah itu tak mampu menahan kantuk.  Dia akhirnya terlelap di tengah riuh kendaraan yang berlalu lalang. Badannya meringkuk menahan dinginnya malam dengan baju basah yang menempel di badan. Hari semakin malam dan dingin semakin terasa. Namun si bocah itu tetap tak beranjak dari lampu merah. Semestinya di waktu seperti itu, bocah itu sudah terlelap dengan nyenyak di kasur yang hangat.

Dia juga semestinya tak mencari uang, demi alasan apapun. Hal yang tepat baginya tentu saja menghabiskan masa kanak-kanak seperti anak-anak lain, sekolah, belajar, bermain tanpa dibebani tanggungjawab mencari uang.

Para pengguna jalan yang lewat persimpangan lampu merah Polda Kalbar tentu tak sulit menemukan bocah itu. Setiap malam bocah itu mengemis di sana. Biasanya dia sudah ada di perempatan jalan mulai pukul 07.00 malam.

Junaidi, salah seorang warga yang bekerja tak jauh dari perempatan jalan itu bercerita, setiap malam dia melihat anak itu mengemis di lampu merah. Pada malam Minggu, anak itu datang lebih awal sekitar pukul 07.00 malam. Sementara di hari lain, biasanya datang sekitar pukul 08.00. “Pulangnya itu malam mereka. Biasanya jam 11 atau jam 12 malam masih ada di situ,” kata Junaidi yang bekerja sebagai tenaga keamanan itu.

Ada tiga anak yang biasa mangkal di sana. Dua anak lelaki dan satu perempuan. Bocah terkecil kira-kira berusia 7 tahun, sementara anak laki-laki kedua kira-kira berusia 9 tahun. Sementara bocah perempuan berusia sekitar 12 tahun.
Saya berupaya menggali informasi tentang ketiga anak tersebut dengan berbincang-bincang dengan anak-anak itu. Namun mereka sangat irit bicara. Si bocah terkecil misalnya lebih banyak diam saat diajak bicara. “Bapak kerja di luar tak pulang-pulang  bang,” kata si Bocah saat ditanya dimana orangtuanya.

Saya juga sempat berbincang dengan anak perempuan yang paling tua diantara ketiganya. Sama dengan si bocah, anak perempuan itu juga irit bicara. Tampaknya ada sesuatu yang disembunyikannya. Terutama tentang identitas mereka.

Si anak perempuan berkulit gelap itu hanya mengatakan mereka tinggal di wilayah Kota Baru, namun tak mau menyebut dengan pasti dimana tempat tinggalnya. Anak perempuan itu mengakui, mereka bertiga adalah saudara kandung. Dia mengatakan, dirinya berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai buruh di luar Kalimantan dan ibunya bekerja sebagai buruh cuci. “Kami sembilan bersaudara,” kata anak perempuan itu.

Saat ditanya apakah mereka dipaksa mengemis oleh orangtuanya? Anak perempuan itu menggeleng. “Kami sendiri yang mau mengemis. Ini untuk bantu mamak. Biar ada tambahan uang,” kata anak perempuan itu. Si anak perempuan itu juga bercerita kalau mereka tetap sekolah di pagi hari. Si bocah paling kecil kelas 1 SD, yang satu lagi kelas 5 SD. Sedangkan dirinya kelas 2 SMP. “Uang yang kami dapat untuk jajan dan beli baju,” katanya.

Saya tidak tahu apakah pernyataan bocah itu benar atau tidak. Yang jelas, orangtua, saudara atau kenalan anak-anak itu semestinya melarang mereka menghabiskan waktu di jalanan untuk sekadar mencari uang.

Di Pontianak tidak sulit menemukan anak-anak yang menjadi pengemis di perempatan jalan. Selain di perempatan lampu merah simpang Mapolda Kalbar, anak-anak yang dijadikan pengemis bisa di temui di Perempatan Jalan Gajah Mada, Perempatan Jalan Tanjungpura, dan Perempatan Ahmad Yani (Depan Kantor Pajak).

Anak-anak itu dengan pakaian lusuh mengharapkan belas kasihan para pengguna jalan. Banyak diantara mereka yang masih balita. Mereka kerap berpanas-panas di siang hari bolong. Mirisnya beberapa pengemis melibatkan anak-anak yang masih bayi. Bayi-bayi itu kerap terlihat terlelap dalam gendongan para pengemis dewasa.

Pemerhati anak, Hairiah, mengatakan, anak sering dieksploitasi oleh orang dewasa untuk memperoleh penghasilan. Anak bekerja di jalanan sering kali bukan pilihan anak itu sendiri. Kondisi rumah tangga yang miskin seringkali menjadi pembenar anak-anak berada di jalanan.

Menurut Hairiah, pemanfaatan anak-anak untuk mengemis di jalanan merupakan salah satu bentuk eksploitasi  anak yang tergolong sebagai perdagangan anak. “Ini jelas-jelas dilarang. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 jelas mengatur larangan eksploitasi anak dalam bentuk apapun, termasuk mengemis. Anak yang dipaksa mengemis dan hidup d jalanan sangat berisiko bagi anak itu sendiri,” jelasnya.

Ada sejumlah modus untuk memanfaatkan anak-anak di jalanan. Dari pengalamannya selama ini diketahui, usaha untuk memanfaatkan anak mengemis tersebut ada yang terorganisir. “Anak-anak itu sudah dilatih terlebih dahulu. Mereka kemudian didrop di sejumlah tempat yang cukup ramai dan meminta-minta di sana,” kata Hairiah.

Namun ada juga anak mengemis yang merupakan suruhan orangtua. Meski berbeda modus namun tujuannya mendapatkan keuntungan. “Dengan membawa anak-anak mungkin mereka berfikir akan lebih banyak orang yang merasa iba dan kemudian memberikan uang. Mereka tidak memikirkan bagaimana kondisi anak mereka. Ini sangat kita sesali,” ungkap Anggota DPD Asal Kalbar itu. 

Hairiah berharap pemerintah bisa bersikap tegas pada tindakan eksploitasi anak tersebut. Menurut Hairiah, peran pemerintah sangat penting untuk melakukan penertiban karena kasus ini termasuk kategori kejahatan terhadap anak.

“Jika alasan mereka mengemis karena orang tua tidak mampu, maka negara dalam hal ini Dinas Sosial harus mengambil peran pengasuhan. Anak-anak itu bisa ditempatkan pada panti-panti yang ada. Pemerintah harus menanggung biaya hidup mereka sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang,” tegasnya. (heriyanto)
suarapenyungkil.blogspot.com
No comments

hutan di tebang bencana datang

Ribuan hektar kelapa di Desa Seruat Dua, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat mati secara misterius. Dugaan sementara, penyebabnya adalah serangan hama kumbang badak. Namun warga desa lebih yakin, air laut yang merangsek masuk ke wilayah desa-lah biang kerok semuanya.

Pagi masih berkabut di Desa Seruat Dua, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Syamsudin Punna, 35 tahun, sudah siap dengan berbagai perlengkapan. Sebuah perahu motor tertambat di sungai kecil di depan rumahnya. Warga Desa Seruat Dua itu hendak menuju kebun kelapa miliknya yang bisa dijangkau dengan perahu.

Perahu bergerak dengan pelan. Suara mesin perahu menderu. Tak sampai 10 menit, terlihat di sepanjang pinggir sungai, batang-batang pohon kelapa berdiri menjulang, sama sekali tak berdaun. Tampak seperti hamparan tiang bendera. “Ini kebun kelapa milik keluarga kami. Lihat saja, kini jadi begini. Habis, mati semua,” ujar Syamsudin sembari menunjuk ke arah batang-batang kelapa yang sudah mati itu.

Perahu menyusur ke tempat lain. Di sejumlah tempat, terlihat banyak pohon kelapa yang sudah tidak berbuah meski daunnya masih lengkap dan berusia produktif. “4 tahun lalu, pohon kelapa ini masih berbuah lebat, namun sekarang berhenti total. Lihat daunnya sekarang menguning. Saya takut ini merembet ke kebun lain yang masih berbuah,” kata Syamsudin dengan mimik serius.

Lokasi kelapa yang mati rata-rata adalah daerah yang telah terendam air laut. Menurut Syamsudin, di lokasi yang cukup tinggi pohon kelapa mereka masih baik-baik saja. “Saya tidak tahu istilahnya secara ilmiah bagaimana, tetapi menurut pengalaman kami sih kematian kelapa ini ada hubungannya dengan masuknya air asin,” tambah Syamsudin.

“Setiap tahun kan kebun kelapa kami secara perlahan yang di muara itu mati. Begitu kebun yang ada di laut itu mati kami bikin lagi kebun di tempat lain. Begitu mati lagi, kami akan bikin lagi di tempat lain. Nah kalau lahan sudah habis otomatis kami tidak ada lahan untuk berpindah-pindah lagi, bertahan di tempat yang ada. Kalau di lahan yang ada ikut mati juga ya kami nggak bisa apa-apa lagi, ya ikut matilah,” cerita Syamsudin saat berkeliling lokasi kebun.

Kondisi yang sama terjadi pada kebun kelapa milik Muhammad Yunus, bendahara desa. Lokasinya sekitar 100 meter dari kebun Syamsudin. Beberapa hektar kebun kelapa milik Yunus juga mati dan tidak berbuah. “Saya harus cari lokasi lain untuk menanam kelapa yang baru. Kalau mengandalkan kebun yang lama, sekarang kurang produktif,” kata Yunus.

Mencari lokasi baru bukan perkara mudah. Tanah yang tersedia semakin menyempit. Kalau pun sudah ada lokasi baru, tanah itu tidak bisa langsung ditanami kelapa. “Tanah di sini khan gambut, jadi nggak bisa langsung ditanam kelapa. Minimal harus ditanam jagung dulu. Kalau gambutnya sudah kurang baru bisa ditanam kelapa,” tambah Yunus.

Penurunan produksi kelapa di desa Seruat Dua, bukan hanya dialami satu dua petani. Ada ratusan petani yang kini sedang was was. Problemnya sama: kelapa mereka makin berkurang buahnya. Warga desa yang merupakan petani tradisional dan mengandalkan pengetahuan dari pendahulu mereka ini belum tahu langkah seperti apa yang harus mereka lakukan. Sebelumnya kejadian seperti ini tidak pernah terjadi.

Ketika ditanya soal luas kelapa yang sudah mati, Muhammad Yunus tidak bisa menjawab pasti. Menurutnya lokasi yang mati maupun yang tidak berbuah sudah sangat luas. “Saya tidak bisa menghitung secara rinci, kemungkinan sudah ribuan hektar yang mati,” ujar Yunus dan kemudian melanjutkan kalimatnya, ”Kalau dihitung sudah puluhan ribu pohon yang mati. Kalau yang sudah tidak produktif, saya tidak persis berapa globalnya, tapi bisa dikatakan sudah ada 500-600 hektar sudah tidak produktif. Boleh dikatakan sudah tidak menghasilkan apa-apa itu.”

****

Kelapa adalah sumber penghasilan bagi warga desa Seruat Dua. Desa ini termasuk penghasil kopra terbesar di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Kopra adalah daging kelapa yang dikeringkan dan digunakan sebagai bahan pembuat minyak goreng. Kopra dari dari Seruat Dua biasanya dikirim ke Pontianak oleh para penampung. Sebelumnya desa ini mampu menghasilkan 150 ton kopra pertiga bulan. Tapi menurut warga, produksi kopra di desa ini kini sudah jauh menurun. Diperkirakan hanya tinggal 40-50 ton saja, kata Iswandi, salah seorang warga.

Di sebuah pondok kecil, di tengah kebun kelapa, Mak Nimah sedang sibuk mencungkil satu per satu daging kelapa dari kulitnya. Batok-batok kelapa yang dilempar ke luar pondok menghasilkan suara gemeretak. Ada 4 orang perempuan yang membantu Mak Timah. Mereka dibayar berdasarkan jumlah kelapa yang dicungkil. Beberapa keranjang sudah penuh terisi daging kelapa. Daging kelapa yang sudah dicungkil ini selanjutnya dikeringkan dengan cara diasapi selama beberapa jam.

Produksi kopra inilah yang menjadi sumber penghasilan Mak Nimah. Maka wajar saja bila perempuan ini resah saat buah kelapa miliknya banyak yang tak berbuah. “Dulu tidak seperti ini. Buah kelapa melimpah. Tapi sekarang semakin berkurang. Saya bingung harus bagaimana,” keluh Mak Nimah.

Mayoritas warga Desa Seruat Dua menggantungkan hidup pada produksi kopra. Ketika kopra menurun, pendapatan warga juga berkurang. Inilah yang dialami Iswandi, warga setempat. Dulu dari 1 hektar kebun kelapa miliknya, dia bisa memperoleh uang 1,5 juta, tetapi sekarang hanya 300 ribu rupiah.

“Kebun kelapa saya ada 1 hektar lebih, tetapi buahnya makin berkurang. Dulu dari kebun itu, bisa dapat jutaan rupiah. Tetapi sekarang susah. Paling hanya bisa dapat 300an ribu. Mau cari penghasilan lain sulit. Karena di sini susah mau bercocok tanam lain, selain kelapa. Makanya kami sekarang harus menghemat uang, supaya masih bisa tetap makan. Beberapa warga coba menggarap tanah kosong di dekat hutan untuk ditanami jagung. Tapi itu juga kena serang hama babi hutan.”

Warga desa kerap berseloroh akan melamar kerja Bank saat ditanya apa yang akan mereka lakukan jika kebun kelapa mereka sudah habis. Maksudnya kerja sebagai pegawai bank Pak? “Bukan. Maksud saya kerja jadi kuli bangunan,” jawab Syamsudin, terkekeh. Tentu ini bukan sekedar gurauan biasa. Warga sama-sama resah bila harus berubah profesi. Jadi kuli bangunan misalnya. Warga selama ini sudah merasa cukup dari hasil kebun kelapa mereka. Karena itu keresahan muncul saat kebun kelapa banyak yang tak berbuah.

“Betul betul resah sudah. Karena memang selama ini hidup kami hanya bisa mengandalkan berkebun.. berkebun.. berkebun.. Tidak ada pencarian lain di sini. Tidak seperti di kota-kota, kalau tidak berkebun bisa kerja berkuli atau kerja di pasar atau dimana. Kalau di sini tidak ada. Mau berkuli pun ya di kebun. Pencarian kami benar-benar di kebun. Kalau kebun rusak, otomotis kami tidak bisa apa-apa,” ujar Syamsudin dengan raut wajah sedih.

Iswandi, pemuda desa setempat bercerita, warga punya kebiasaan meminjam uang kepada penampung. Setelah panen biasanya mereka akan membayar hutang tersebut. Namun karena produksi berkurang, mereka kini terjerat hutang.

***

Desa Seruat Dua berada di pesisir Kabupaten Kubu Raya. Desa ini bukanlah daerah yang mudah dijangkau dengan jalan darat. Belum ada jalan yang memadai untuk ke sana. Jika memaksa melalui jalur darat, siap-siap lah menggunakan jalur perkebunan kelapa sawit. Tentu dengan resiko menemui jalan yang licin dan rusak parah. Lebih-lebih bila sedang musim hujan.

Jalur yang aman dan kerap dipakai warga adalah menggunakan jalur sungai. Umumnya warga menggunakan kapal klotok yang melintasi Sungai Kapuas. Butuh waktu sekitar 5 jam dengan transportasi ini. Tapi jika ingin lebih cepat sampai bisa menggunakan speedboad, yang bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 2 jam.

Sungai-sungai baik besar maupun kecil dengan mudah ditemui di desa ini. Kehidupan warga sangat erat dengan sungai. Sungai menjadi sarana penghubung antar kampung dan sekaligus juga sebagai sumber penghasil ikan, kepiting, dan kepah. Namun, banyaknya sungai yang menghubungkan wilayah pesisir dan kampung telah menghasilkan masalah tersendiri. Menurut keyakinan warga, air laut terus merangsek masuk ke desa melalui sungai-sungai tersebut. Syamsudin menegaskan kembali soal ini ketika kami melalui menyusuri aliran air sungai dari arah pesisir. Lelaki ini dengan lincah turun dari perahu dan menunjukkan lokasi yang beberapa tahun lalu ditempati namun kini sudah ditinggal pergi penghuninya.

“Di sini dulu banyak rumah, Pak. Nah di situ ada dulu ada masjid, di situ ada rumah besar. Sekarang bapak lihat, hanya tinggal semak-semak. Semuanya sudah pindah,” beber Syamsudin.

Di sejumlah tempat saya masih melihat sejumlah nisan yang tidak terawat dan ditumbuhi rerumputan yang meninggi. Ini menjadi pertanda bahwa di lokasi tersebut memang pernah ada perkampungan. Kami bergerak ke tempat lain. Di sejumlah tempat, ada puluhan rumah yang sudah tampak reot, tak berpenghuni. “Ada yang pindah ke Pontianak, ada yang ke Sungai Jawi, pokoknya banyak tempat lah. Soalnya wilayah ini sudah terendam air laut,” ujar Syamsudin sambil sesekali menunjuk ke rumah kosong di depannya.

Menurut Syamsudin desanya sudah 3 kali berpindah lokasi karena terendam air laut. Setiap kali terendam, warga harus mencari tempat lain sebagai lokasi desa yang baru. Biasanya lokasinya bergeser sekitar 2 kilometer dari desa sebelumnya, menjauhi pesisir. Namun belakangan ini warga khawatir, karena wilayah desa yang sekarang ditempati juga mulai dimasuki air laut.

“Sekarang bapak sendiri bisa lihat, baru 3 hari tidak turun hujan airnya sudah asin, bahkan sudah tidak layak untuk dipake mandi. Mungkin dalam seminggu ini mungkin airnya bisa dibikin garam. Seperti apa yang kita lihat sekarang, kita sudah tidak bisa bercocok tanam lagi, cuma yang bisa hidup di sini cuma kelapa, mungkin karena kelapa ini bisa tahan air asin dalam jangka waktu selama satu tahun, setelah itu tidak produktif lagi,” papar Muhammad Yunus.

Dalam beberapa tahun mendatang, bisa jadi wilayah yang sekarang mereka tempati juga digenangi air laut. Bila air semakin tinggi, rumah, masjid, dan tanaman warga akan musnah. Sialnya, separuh lebih hutan desa yang berfungsi menetralisir dan menahan air laut telah berganti menjadi kebun kelapa sawit.

“Karena air asin ini masuknya ke dalam parit sekunder, masuknya ke kampung-kampung ini, karena hutan-hutan ini sudah menipis, air tawarnya tidak ada yang menampung. Karena di hutan yang melindungi desa seruat dua, yang kami anggap sebagai hutan lindung ini sudah menipis dibabat, bahkan sudah hampir habis,” kata Muhammad Yunus.

Untuk mengurangi masuknya air laut ke perkampungan, warga lantas membendung sungai-sungai. Mereka menyewa alat berat untuk membangun bendungan dari tanah sepanjang 11 kilometer. Mereka menancapkan batang-batang kelapa untuk memperkuat bendungan. Warga merasa ini sudah mencukupi untuk menghalau air laut. Namun ini jadi masalah tersendiri karena warga sama sekali tak membangun pintu air. Pada musim hujan, air dari kampung tak bisa keluar dengan ke laut. Banjir sangat rentan terjadi. “Kami tak punya cukup uang untuk membangun pintu air. Terlalu mahal, karena jumlah sungai yang ditutup cukup banyak,” ujar Sutami, kepala proyek pembangunan bendungan.

****

Lantas apa hubungan antara masuknya air asin dengan kematian kelapa?

Ketika liputan ini dilakukan, belum ada satu pun instansi pemerintah meneliti masalah ini. Lokasi yang jauh dan terpencil diduga membuat informasi soal kematian ribuan hektar kebun kelapa ini belum sampai ke pemerintah kabupaten Kubu Raya.

Saya menyambangi Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. Kepada Kepala Lab, Sarbino, ditunjukkan sejumlah foto dan video tentang kondisi kelapa di desa Seruat. Sarbino menjelaskan, air asin yang masuk secara berlebihan akan mengurangi kesuburan tanaman. Pengaruhnya, buah berkurang atau bahkan sama sekali berhenti berbuah. Sementara kelapa yang tidak subur akan sangat rentan diserang hama.

Hama yang menyerang kelapa di Desa Seruat Dua, kata Sarbino, adalah kumbang badak. Hama ini menyerang titik tumbuh: bagian penting tanaman yang menjadi pusat tumbuhnya daun. Gejala serangan hama ini adalah munculnya daun berbentuk kipas. Serangan hama kumbang badak bisa mematikan pohon kelapa hingga daunnya habis tanpa sisa.

Kepala Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Kalbar Sajarwadi menjelaskan hama kelapa ini umumnya menyerang di malam hari, langsung menuju ke batang. Karenanya, petani sering tidak tahu jika kelapa mereka telah terserang hama.

Peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Kukuh Hernowo mengatakan satu kumbang badak bisa mematikan satu pohon kelapa. Batang kelapa mati selanjutnya akan menjadi sarang untuk berkembangbiak.

Kepala Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Kalbar Sajarwadi berjanji akan mengirimkan tim ke Desa Seruat Dua, untuk menyelidiki kematian kelapa di sana.

“Kita akan cek ke lokasi, kita kirimkan tenaga teknis ke sana untuk menginventarisir permasalahan yang ada dan sekaligus biasanya akan dilakukan penyuluhan dan pembinaan kepada petani, dan nanti akan kita atur strategi pengendaliannya,” janji Sajarwadi.

Kembali ke Desa Seruat Dua. Selama beberapa tahun terakhir warga menderita. Warga khawatir, serangan terhadap kebun kelapa mereka makin luas. Entah itu karena air laut maupun kumbang badak. Apalagi sampai saat ini belum ada satu instansi pemerintah pun yang mengatasinya.**

suarapenyungkil.blogspot.com
No comments